Minggu, 24 April 2011

Peranan Lembaga Perlindungan Konsumen Terhadap Hak - Hak Konsumen

  • Perlindungan Konsumen
Masih segar di ingatan, hebohnya kasus formalin pada makanan, ditariknya produk pengusir nyamuk HIT karena dikhawatirkan mengandung bahan yang berbahaya bagi keamanan dan keselamatan konsumen. Juga kasus minuman isotonik yang mengandung zat pengawet berbahaya yang disinyalir oleh Lembaga Komite Masyarakat Anti Bahan Pengawet (KOMBET) yang di supervisi oleh LP3ES Jakarta di tahun-tahun lalu ketika meneliti sejumlah produk minuman isotonik, hasilnya menginformasikan bahwa sejumlah minuman isotonik mengandung zat pengawet berbahaya yakni natrium benzoat dan kalium sorbet yang bisa menyebabkan penyakit yang dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu penyakit nan mematikan yang dapat menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia ketika antibodi yang seharusnya melindungi tubuh manusia malah menggerogoti manusia itu sendiri.

Sekarang heboh jamu berbahaya, kosmetik berbahaya, makanan-minuman mengandung susu produk RRC yang berbahaya, beras mengandung bahan pengawet berbahaya dan seterusnya.
Apa yang salah, sehingga kejadian seperti selalu berulang, ke manakah peran pengawasan dari instansi-instansi yang berwenang mengeluarkan izin produksi, izin berlaku dan beredarnya suatu produk? Sebuah tanda tanya besar. Jelas konsumen lagi-lagi menjadi korban.

Semakin terbukanya pasar sebagai akibat dari proses mekanisme pasar yang berkembang adalah hal yang tak dapat dielakkan. Seringkali dalam transaksi ekonomi yang terjadi terdapat permasalahan-permasalahan yang menyangkut persoalan sengketa dan ketidakpuasan konsumen akibat produk yang di konsumsinya tidak memenuhi kualitas standar bahkan ada yang membahayakan. Karenanya, adanya jaminan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan jasa yang diperolehnya di pasar menjadi urgen.

  • Jaminan Hak Konsumen
Berdasarkan UU Nomor Tahun 1999, Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Nah, dari itu, perlindungan konsumen fokusnya bertujuan pada usaha meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan jasa, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

Sebenarnya, adanya UU ini cukup representatif apabila telah dipahami oleh semua pihak, karena di dalamnya juga memuat tentang upaya menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan, konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, kewajiban mereka untuk meningkatkan kualitas barang dan jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Kemudian di dalam UU Perlindungan Konsumenpun, diatur tentang pelarangan bagi pelaku usaha yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.

Hak-hak konsumen dalam UU Nomor 8 Tahun 1999, telah diatur secara jelas. Konsumen mempunyai hakatas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa, hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Kemudian konsumen berhak pula atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan, hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai kualitasnya atau tidak sebagaimana mestinya. Namun, memang pada realitanya, terkadang konsumen seringkali berada pada posisi yang kurang menguntungkan dan daya tawarnya lemah. Ini karena mereka belum memahami hak-hak mereka dan terkadang sudah menganggap itu persoalan biasa saja. Untuk itu mesti di bangun gerakan secara massif antar elemen masyarakat yang care terhadap advokasi kepentingan konsumen.

  • Peran Lembaga Perlindungan Konsumen
Dalam hal ini, peran lembaga yang bergerak di bidang perlindungan konsumen menjadi penting, peran-peran ini diakui oleh pemerintah. Lembaga perlindungan konsumen yang secara swadaya didirikan masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.

Lembaga perlindungan konsumen berperan untuk menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa, memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya, serta bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen, membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen, melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

  • Peran Lembaga Pengawasan
Secara nasional, selama ini dapat dinilai bahwa yang bertanggung jawab terhadap pengawasan peredaran barang-barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat adalah BPOM dan departemen terkait yang mengeluarkan izin produksi, perdagangan dan peredaran suatu produk. Mestinya pihak-pihak ini teliti sebelum mengeluarkan izin terhadap suatu produk, jangan sampai di ‘kibuli’ pengusaha, yang akhirnya rakyat dirugikan oleh hadirnya produk yang membahayakan. Padahal seperti kasus formalin, HIT dan juga minuman isotonik misalnya, ini kan kasus yang sebenarnya sudah lama diketahui, namun ketika media ramai-ramai mengangkatnya, barulah mereka bergerak.

Untuk konteks daerah, BPOM dan dinas-dinas terkait juga selalu reaktif dalam menanggapi persoalan. Seharusnya mereka lebih proaktif dan antisipatif, bukan menunggu telah muncul kasus ke permukaan akibat keluhan konsumen baru mereka bertindak.

Kemudian, problem pembinaan terhadap pelaku usaha juga mesti diperhatikan agar tumbuh kesadaran mereka untuk tidak memproduksi produk-produk yang tidak berkualitas dan menjualnya kepada konsumen. Lebih lanjut, penindakan secara hukum mesti tegas agar tidak menjadi preseden buruk dan kejadiannya berulang.

  • Kewajiban Konsumen
Untuk itu, konsumenpun perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya. Sosialisasi perlindungan konsumen mesti di lakukan terutama untuk strata sosial menengah ke bawah, dengan asumsi bahwa untuk konsumen dari strata menengah ke bawah inilah yang lebih rentan terhadap masalah-masalah yang memerlukan perlindungan konsumen akibat ketidakpahaman mereka.

Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism). Untuk peningkatan kesadaran dan kewaspadaan konsumen, konsumen juga memiliki kewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan jasa, demi keamanan dan keselamatan. Maka telitilah sebelum membeli dan mengkonsumsi suatu produk.

UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI DAN DAMPAKNYA TERHADAP BISNIS USAHA KECIL DAN MENENGAH

1. PENGERTIAN
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli .
Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
1.1 Asas dan Tujuan Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
1.2 Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
1.3 Kegiatan yang dilarang dalan antimonopoly
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2 adalah :
  • Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
  • Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya
1.4 Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
  • Oligopoli
  • Penetapan harga
  • Pembagian wilayah
  • Pemboikotan
  • Kartel
  • Trust
  • Oligopsoni
  • Integrasi vertical
  • Perjanjian tertutup
  • Perjanjian dengan pihak luar negeri
1.5 Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan
  • Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
  • Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
  • Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut
1.6  Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar.
  • Monopoli
  • Monopsoni
  • Penguasaan pasar
  • Persekongkolan
1.7 Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1.      Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
2.      Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
3.      Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
1.8  Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat
  • Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
  • Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
  • Efisiensi alokasi sumber daya alam
  • Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim
  • ditemui pada pasar monopoli
  • Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
  • Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
  • Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
  • Menciptakan inovasi dalam perusahaan
1.9 Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49. Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49 Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain. Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.